Dapat dikatakan bahwa perang antara Aceh dan Batak menjadi awal
penyebaran suku Batak menjadi beberapa kelompok yang kemudian terbentuk
menjadi puak-puak tersendiri. Dari uraian berikut dapat dipastikan bahwa
suku Batak semula bermukim di Barus. Sebagian di antaranya pernah
ditempatkan sebagai pasukan di Singkil, Aceh. Namun, serangan Aceh
memaksa kelompok ini untuk melarikan diri dari Singkil dan Barus. Mereka
mencari tempat yang aman untuk menyelamatkan diri ke daerah-daerah di
pedalaman. Karena tujuan untuk menyelamatkan diri, mereka menjadi
terpecah belah dalam berbagai rombongan. Ada yang lari ke pedalaman
hutan (pedalaman Aceh) ada
yang melarikan diri hingga dataran tinggi (Tanah Karo) dan ada pula
setelah tiba di sebuah dataran lalu turun ke sebuah jurang yang dalam.
Rombongan Pertama
Perang melawan Aceh sungguh merupakan suatu perang yang sangat tidak
seimbang. Aceh maju ke medan perang dengan bantuan armada dan sejumlah
pasukan dari Turki yang sudah terkenal keberaniannya. Kala itu, hampir
seluruh negara Arab dan sebagian Afrika telah berada di bawah kaki
Turki. Uji-coba kehebatan armada dan pasukan Turki ini pertama kali
dilakukan waktu menyerang Singkil. Setelah membombardir Singkil dengan
meriam, pasukan di daratkan. Setelah pasukan turun, seluruh bala tentara
perang, langsung melakukan pembersihan.
Pasukan Sori Mangaraja yang ditempatkan di Singkil tidak dapat melakukan
apa-apa. Mereka hanya bersenjatakan lembing dan golok. Dapat diduga,
walaupun pasukan Batak melancarkan perlawanan dengan mati-matian, hampir
seluruhnya mati terbunuh. Hanya sedikit di antaranya sempat
menyelematkan diri. Sebagian melarikan diri ke tengah kegelapan hutan
dan sebagian lagi melarikan diri dengan mengikuti jalur sungai, lalu
memanjat gunung. Sisa-sisa pasukan inilah yang kemudian dikenal dengan
orang Gayo dan Alas sekarang. Mereka inilah yang merupakan rombongan
pertama suku Batak yang terbentuk.
Rombongan Kedua
Pertempuran di Barus pun berlangsung dengan sangat sengit. Perang ini
dimulai dengan memborbardir pelabuhan Barus oleh pasukan Aceh hingga
kota pelabuhan tersebut hancur berantakan. Pertempuran bersosoh pun
dimulai begitu pasukan penyerang melakukan pendaratan. Pedang melawan
golok, dengan diselingi lemparan-lemparan tombak. Rakyat begitu
ketakutan sehingga banyak di antaranya melarikan diri. Mereka terutama
adalah para pedagang dan bangsawan India dan rakyat kebanyakan. Mereka
melarikan diri dan bersembunyi di dalam hutan.
Setelah melihat kenyataan bahwa pasukan Raja Batak sudah takluk dan
sebagian sudah ditawan, rakyat kebanyakan dan bangsawan Tamil tersebut
menarik diri makin jauh ke pedalaman dengan menyusuri sungai-sungai
hingga ke hulu dan memanjat tebing-tebing yang tinggi. Perjalanan makin
dirasakan sulit karena bersama mereka turut sejumlah wanita, orang-orang
tua dan anak-anak. Mereka akhirnya tiba di suatu dataran yang sekarang
dikenal dengan nama Dataran Tinggi Karo. Mereka inilah yang kemudian
hari dikenal sebagai leluhur Puak Karo dan Puak Pakpak. Keturunan para
bangsawan ini dikenal dengan marga Sembiring Brahmana, Sembiring Meliala
dan Colia. Sebagai kenangan bahwa mereka pernah berdiam di Barus, salah
satu kelompok marga di Karo juga menamakan diri sebagai marga Barus dan
turunan para bangsawan India memakai nama marga, Sembiring Brahmana.
Dalam hidup sehari-hari banyak kebiasaan Hindu kuno yang sampai sekarang
masih di pegang oleh orang Karo, seperti mar pangir ku lau , satu
kebiasaan Hindu membersihkan diri di sungai Gangga.
Rombongan Ketiga
Rombongan ketiga adalah cucu Raja Sori Mangaraja III yang bernama Sumba
dan ibunya Nai Sumbaon. Dengan dikawal oleh Tatea Bulan bersama sejumlah
pasukan, mereka berupaya untuk menyelamatkan diri dari serangan pasukan
Aceh di Barus dengan melewati kegelapan hutan. Sang ibu dan anak kecil
tersebut berada di atas kuda dan begitu pula Tatea Bulan diatas kuda
yang lain. Bersama mereka turut pula dibawa barang-barang pusaka
kerajaan, berupa satu keris piso gaja dompak , tombak sitonggo mual,
mahkota (ikat kepala) sende huliman , ulos tumtuman sutora
malam , dan tikar berlapis tujuh (kaomasan ) sebagai tempat duduk raja. Mereka juga membawa sejumlah perbekalan.
Jalur yang mereka tempuh berbeda dari jalur yang ditempuh oleh rombongan
kedua. Apabila rombongan pelarian yang kedua menyelamatkan diri dengan
melewati Sungai Simpang Kiri, rombongan ketiga menjauh dari Barus ke
pedalaman dengan melewati Sungai Simpang Kanan. Selepas melewati sungai
ini, mereka kemudian pergi menuju Dolok Pinapan, lalu masuk ke hutan
yang gelap. Para pengawal berjalan di depan untuk merambah jalan.
Setelah melalui perjalanan panjang, rombongan tersebut tiba di suatu
dataran yang sekarang kita kenal dengan Tele. Disebuah dataran yang
sedikit lapang, mereka pun berhenti. Setelah yakin bahwa mereka sudah
berada cukup jauh dari musuh, Tatea Bulan memerintahkan pasukan
membongkar seluruh perbekalan. Mereka memutuskan untuk beristirahat guna
memulihkan tenaga karena, dalam perjalanan yang begitu jauh, baru kali
ini mereka berhenti. Dalam istirahat tersebut, Tatea berpikir keras:
Apakah mereka harus melanjutkan perjalanan atau tinggal menetap di
tempat itu?
Sementara rombongan beristirahat, Tatea mengadakan peninjauan lapangan.
Dia pun naik ke bukit dan dari atas dia melihat suatu hamparan air yang
begitu indah. Dia teringat dengan Barus yang merupakan tempat
mereka bermukim sebelumnya. Bersama dua orang pengawalnya, mereka
menuruni bukit yang terjal sampai akhirnya mereka tiba di pinggir sebuah
danau. Dia melihat tempat tersebut masih kosong tanpa penghuni.
Topografi wilayah ini sangat mendukung dan aman untuk dihuni karena
tidak ada jalan untuk keluar atau masuk kecuali yang telah mereka lalui.
Karenanya apabila ada pendatang baru, walaupun kemungkinannya sangat
kecil, pasti dapat diketahui sedini mungkin. Di tempat ini juga ada
hamparan tanah datar di sebuah lembah, yang dapat diolah menjadi
persawahan. Air mengalir dari puncak gunung tanpa habis-habisnya
sehingga, apabila diolah, tanahnya akan menjadi lahan pertanian yang
subur. Tentang persawahan ini, sering kita dengar pameo: Juma ni Limbong
na dua hali marporiama , artinya sawah di Limbong begitu subur,
sehingga dapat dua kali panen dalam satu musim tanam. Juga tempat ini
terletak tidak begitu jauh dari perairan Danau Toba yang akan dapat
menjadi sumber makanan nabati yang tiada putusnya. Berdasarkan
pertimbangan inilah Tatea akhirnya memutuskan untuk tinggal di tempat
itu.
Tatea Bulan kembali ke tempat rombongan,
setelah hampir menjelang tengah malam. Rombongan sempat merasa khawatir,
sesuatu telah terjadi terhadap Tatea dan dua pengawalnya. Mereka
kemudian mendengarkan hasil peninjauan Tatea dan keinginannya agar
mereka pergi menuju tempat yang telah dia pilih sebagai tempat untuk
bermukim. Pagi harinya, mereka pun berangkat. Mereka berjalan hati-hati
karena di sebelah terdapat jurang-
jurang yang menganga. Setelah tiba di tempat yang dituju, Tatea berkata:
“Inilah akhir perjalanan kita. Di sinilah kita menetap untuk selamanya
dan mendirikan perkampungan. Inilah asal-usul mengapa kampung itu diberi
nama Sianjur Mula-mula. Keturunan merekalah yang kemudian dikenal sebagai Puak Toba.
Dan sejak mereka bermukim disana, inilah untuk pertama sekali geliat manusia ada disana sejak letusan gunung Api Toba,
jutaan tahun yang lalu. Letusan gunung api, yang dikategorikan sebagai
letusan gunung api terkuat dan terdahsyat di dunia, berkekuatan 8 skala
VEI, sepuluh kali lebih dahsyat dari letusan gunung Krakatau yang hanya 7
skala VEI,
mengeluarkan material mencapai 2.800 kilometer kubik; 2000 km kubik
permukaan bumi yang terangkat dan 800 km kubik hancur jadi abu. Diteliti
oleh sebuah team dari 6 universitas dari 4 negara yaitu Univeristas
Cambridge dan Universitas Readning dari Inggeris, Institut Smithsonian
dari Amerika Serikat, Universitas Karnatak dari India, Universitas
Queensland dan Universitas Wollongong dari Australia, sejauh mana
pengaruh letusan gunung ini merubah iklim dunia. Dapat dimaklumi, jika
selama jutaan tahun gunung api ini tidak dihuni oleh manusia
dan para pelarian dari Barus inilah yang kemudian menjadi manusia
pertama, yang menjadi penghuni di pinggir kawah bekas letusan gunung api
ini. ( Lihat juga;
NATIONAL GEOGRAPHIC – SPECIAL –
DOOMSDAY VOLCANO).
Kembali pada para pelarian. Apabila tahun kejadian ini dihubungkan
dengan keberadaan bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1511 dan juga
dengan sundut (generasi) marga Limbong dan Sagala yang sekarang ada
Sianjur Mula-mula, tidak salah apabila kehadiran orang Batak di sana
baru berkisar lebih-kurang 500 tahun. Kelompok yang pertama kali
bermukim di sana ialah Tatea Bulan bersama seorang ibu yang bernama Nai
Sumbaon dengan anaknya yang masih kecil yang bernama Sumba. Mereka
inilah yang kemudian menjadi leluhur marga-marga Batak Toba yang
kemudian beroecah menjadi Batak Toba dan Batak Mandailing/ Angkola.
Sabtu, 02 Juni 2018
Jumat, 01 Juni 2018
Marga Berasa
Norman Sidabutar
BERASA
15 MEI · PARNA (GROUP TARO...
LAWATAN KE TANOH SINDEAS MANDUAMAS TAPTENG
Senin 14 Mei 2018 pukul 14.00 WIB. Saya tiba di Tugu Mpu Bada Sigalingging tepatnya di Tanoh Sindeas Kec. Manduamas Tapteng.
Matahari mengintip diselimuti awan dan hujan ritik-rintik. Saya mendekat mencari tahu penjaga Tugu. Di belakang Tugu, sebuah rumah di huni marga Naibaho. Ketika ku selidik, ternyata tidak satupun keturunan Mpu Bada Sigalingging domisili di sekitar Tugu.
Saya berusaha mencari informasi di sekitar Desa. Di Rumah Makan Berkah tidak jauh dari Tugu, saya bertemu dengan seseorang bermarga Berasa, biodata :
Nama : Jontrianus Berasa
Umur : 33 tahun
Alamat : Desa Peranginan Kec. Manduamas Tapteng
Pekerjaan : Wiraswasta.
Setelah saling mengenal, saya mengawali pembicaraan sedikit lebih serius sebagai berikut :
~Apakah Berasa masuk keturunan Parna ?.
Jontrianus : Bukan Pak.
~Apakah Jontrianus termasuk keturunan Mpu Bada Sigalingging yang terukir di Tugu itu ?.
Jontrianus : Betul Pak, kami termasuk keturunan Mpu Bada yang di Tugu itu.
~Pada Tugu Mpu Bada, tertulis dengan jelas marga Sigalingging. Bila Sigalingging Parna, Berasa salah satu keturunannya. Apakah mungkin Leluhurnya Parna sedangkan keturunannya bukan Parna ?. Atau, apakah Jontrianus berani mengatakan Sigalingging bukan Parna ?.
Jontrianus : Sigalingging memang Parna Pak. Tetapi Berasa sudah lama saling kawin mawin dengan marga Tinambunan dan Tumanggor di Desa ini. Dan..., katanya Berasa ada 2 bagian, sebagian masuk Parna sebagian lagi bukan Parna.
~Bila begitu, yang bukan masuk Parna masuk keturunan siapa ?. Apakah menurut anda ada marga Berasa keturunan Borbor atau Manik ?.
Jontrianus : Setahu saya tidak ada Berasa masuk Borbor atau Manik Pak.
~Bila begitu, Berasa yang anda emban keturunan dari mana ?.
Jontrianus : Begini ceritanya Pak. Sejak dahulu Berasa sudah kawin mawin dengan Tinambunan dan Tumanggor. Oppung saya boru Tumanggor, mama saya boru Tumanggor dan istri saya Boru Tumanggor.
~Begini saja anggia. Saya marga Sidabutar keturunan Tamba Tua. Menurut kamu Berasa yang di Tugu Mpu Bada itu keturunan siapa ?.
Jontrianus : Setahu saya, Sigalingging keturunan Munte Tua Pak (saya ; panggil abang saja), oh ya bang. Dia lanjutkan ; bila Sigalingging keturunan Munte Tua, sudah pasti seluruh keturunannya keturunan Munte Tua bang.
~Ternyata pintar juga kamu anggia. Begini saja saran saya ; yang sudah, sudahlah. Sampaikan pada seluruh anak-anak mu bahwa tidak boleh lagi menikah dengan marga Tinambunan dan Tumanggor. Dengan demikian, generasi dibawahmu akan kembali ke akar yang sesungguhnya dan mereka akan berani dengan tegas mengatakan "KAMI ADALAH PARNA".
Jontrianus : Siap bang, mulai sekarang akan saya pikirkan dan akan saya sampaikan pada dongan tubu di Desa ini.
Terimakasih.
BERASA
15 MEI · PARNA (GROUP TARO...
LAWATAN KE TANOH SINDEAS MANDUAMAS TAPTENG
Senin 14 Mei 2018 pukul 14.00 WIB. Saya tiba di Tugu Mpu Bada Sigalingging tepatnya di Tanoh Sindeas Kec. Manduamas Tapteng.
Matahari mengintip diselimuti awan dan hujan ritik-rintik. Saya mendekat mencari tahu penjaga Tugu. Di belakang Tugu, sebuah rumah di huni marga Naibaho. Ketika ku selidik, ternyata tidak satupun keturunan Mpu Bada Sigalingging domisili di sekitar Tugu.
Saya berusaha mencari informasi di sekitar Desa. Di Rumah Makan Berkah tidak jauh dari Tugu, saya bertemu dengan seseorang bermarga Berasa, biodata :
Nama : Jontrianus Berasa
Umur : 33 tahun
Alamat : Desa Peranginan Kec. Manduamas Tapteng
Pekerjaan : Wiraswasta.
Setelah saling mengenal, saya mengawali pembicaraan sedikit lebih serius sebagai berikut :
~Apakah Berasa masuk keturunan Parna ?.
Jontrianus : Bukan Pak.
~Apakah Jontrianus termasuk keturunan Mpu Bada Sigalingging yang terukir di Tugu itu ?.
Jontrianus : Betul Pak, kami termasuk keturunan Mpu Bada yang di Tugu itu.
~Pada Tugu Mpu Bada, tertulis dengan jelas marga Sigalingging. Bila Sigalingging Parna, Berasa salah satu keturunannya. Apakah mungkin Leluhurnya Parna sedangkan keturunannya bukan Parna ?. Atau, apakah Jontrianus berani mengatakan Sigalingging bukan Parna ?.
Jontrianus : Sigalingging memang Parna Pak. Tetapi Berasa sudah lama saling kawin mawin dengan marga Tinambunan dan Tumanggor di Desa ini. Dan..., katanya Berasa ada 2 bagian, sebagian masuk Parna sebagian lagi bukan Parna.
~Bila begitu, yang bukan masuk Parna masuk keturunan siapa ?. Apakah menurut anda ada marga Berasa keturunan Borbor atau Manik ?.
Jontrianus : Setahu saya tidak ada Berasa masuk Borbor atau Manik Pak.
~Bila begitu, Berasa yang anda emban keturunan dari mana ?.
Jontrianus : Begini ceritanya Pak. Sejak dahulu Berasa sudah kawin mawin dengan Tinambunan dan Tumanggor. Oppung saya boru Tumanggor, mama saya boru Tumanggor dan istri saya Boru Tumanggor.
~Begini saja anggia. Saya marga Sidabutar keturunan Tamba Tua. Menurut kamu Berasa yang di Tugu Mpu Bada itu keturunan siapa ?.
Jontrianus : Setahu saya, Sigalingging keturunan Munte Tua Pak (saya ; panggil abang saja), oh ya bang. Dia lanjutkan ; bila Sigalingging keturunan Munte Tua, sudah pasti seluruh keturunannya keturunan Munte Tua bang.
~Ternyata pintar juga kamu anggia. Begini saja saran saya ; yang sudah, sudahlah. Sampaikan pada seluruh anak-anak mu bahwa tidak boleh lagi menikah dengan marga Tinambunan dan Tumanggor. Dengan demikian, generasi dibawahmu akan kembali ke akar yang sesungguhnya dan mereka akan berani dengan tegas mengatakan "KAMI ADALAH PARNA".
Jontrianus : Siap bang, mulai sekarang akan saya pikirkan dan akan saya sampaikan pada dongan tubu di Desa ini.
Terimakasih.
Sejarah Turnip
Marga Turnip adalah salah satu dari ratusan marga Batak yang leluhurnya berasal dari Pulau Samosir. Marga Turnip juga merupakan salah satu bagian dari marga yang tergabung dalam Pomparan ni Raja Nai Ambaton (PARNA). Pomparan ni si Raja Naiambaton biasa disingkat menjadi PARNA, yaitu marga-marga yang dipercayai sebagai keturunan dari Raja Naiambaton yang karenanya tidak boleh menikah satu dengan yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam tulisan-tulisan pustaha Batak yang berbunyi “Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru ” dalam bahasa Batak Toba, yang dapat diartikan dengan ”Keturunan Raja Naiambaton adalah sama-sama pemilik putra dan putri,” yang dalam arti lebih luas lagi dapat diartikan bahwa ”Putra-putri keturunan marga-marga Naiambaton tidak boleh menikah satu sama lain.” Satu tulisan menyatakan bahwa Raja Naiambaton merupakan keturunan keenam dari Raja Batak, seperti berikut: Raja Batak memperanakkan Guru Tateabulan , memperanakkan Raja Isumbaon, memperanakkan Tuan Sorimangaraja , memperanakkan Raja Asiasi , memperanakkan Sangkaisomalindang , dan memperanakkan Raja Naiambaton.
Hingga saat ini keseluruhan jumlah marga PARNA adalah sekitar 65 marga.
Nenek moyang marga Turnip adalah Tamba Tua, Adik Sibolon Tua dan Abang Saragi Tua, Munte Tua, dan Nahampun Tua. Beberapa marga pomparan Datu Parngongo antara lain: Sidabutar, Sijabat, Siadari dan Sidabalok) atau dikenal dengan panggilan Oppu Raja Manise (Raja Turnip) yang awalnya mendiami daerah pesisir Pulau Samosir tepatnya Simanindo (sekarang ini Kecamatan Simanindo). Oppu Raja Manise memiliki dua keturunan yakni Oppu Raja Oloan yang mendiami Lumban Uruk dan Oppu Raja Banua yang mendiami Lumban Turnip. Dari Oppu Raja Oloan memperanakkan Guru Mangata Manuk, sedangkan Oppu Raja Banua memiliki 5 anak laki-laki dan keturunan dari Oppu Jamanindo yang dapat diuraikan di bawah ini.
Oppu Raja Banua mempunyai lima keturunan yaitu (1) Oppu Marhilap, (2) Oppu Mualni Huta, (3) Oppu Sotardugur, (4) Oppu Raja Mamatik dan (5) Oppu Tagor. Keturunan Oppu Marhilap dan Oppu Tagor mendiami Lumban Turnip, keturunan Oppu Mualni Huta mendiami Peajolo, keturunan Oppu Sotardugur mendiami Rautbosi dan Oppu Raja Mamatik mendiami Huta Ginjang dan Lintong. Oppu Sotardugur memperanakkan Putra 3; 1.Am Sotardugur menetap di rautbosi
2.Oppu Sileang Mangebas konon dikabarkan merantau ke daerah dolok (daerah perbukitan Pulau Samosir) dan menetap di Huta Janji Maria Dolok. 3.Oppu Saragitua sondiraja. Masa kecilnya tinggal di parbaba sampai
dewasa.dan meninggalkan
harangnihorbo(janjimaria lbn
Saragi ) dari parbaba pergi
merantau ke Simalungun Haranggaol.Oppu Saragitua
Sondiraja mempunyai 2 putra
1.Oppu Jorngat laut saragih turnip menetap di haranggaol.
2.Oppu Mangaliat Saragi turnip di antar Oppu Saragitua
Sondiraja turnip ke parbaba
dan menetap di janjimaria lumban Saragi.dan keturunan
Oppu Mangaliat inilah cenderung memakai marga Saragi.
Dari tempat-tempat inilah Marga Turnip (keturunan Guru Sojouon) merantau keluar dari Pulau Samosir. Sebagian besar ada yang menetap di Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang, Kotamadya Medan, Kabupaten Labuhan Batu,Kabupaten Asahan, bahkan ada yang keluar dari Provinsi Sumatera Utara.
Hubungan Turnip dengan Siallagan dan Simarmata
Salah satu keturunan dari Ompu Raja Tamba Tua Ompu boru Malau Pase bernama Toga Turnip. Toga Turnip juga mempunyai abang yaitu Tamba Sitonggor dan Siallagan. Selain itu, Siallagan, Turnip, Simarmata (Pinompar ni Saragi Tua) mempunyai padan (janji yang spesial) lebih dari sekedar sama sama parna, yaitu si sada anak si sada boru, artinya keturunan simarmata keturunan turnip juga, keturunan turnip keturunan simarmata juga, keturunan turnip keturunan siallagan juga, dan seterusnya, namun bukan berarti Simarmata keturunan dari Tamba Tua, padan inilah yang menyebabkan banyak orang mengira Simarmata bagian dari Tamba Tua. Sebelum marga turnip terbentuk janji itu telah di ikat oleh ketiga oppung kita itu (turnip raja, simata raja, siallaga raja). Mereka mengikat janji ini karena mereka telah saling menolong sejak masi muda. Terutama ketika Siallagan dan Turnip diserang oleh musuh yang berasal dari kerajaan Simalungun, ketika itu Simata Raja yang sedang singgah di huta Siallagan dan Turnip turut membantu kedua hahanya untuk mengalahkan musuh. Suatu padan yang harus diteruskan ke anak cucu sebab pepatah lama berkata:
Togu urat ni bulu, Togu an urat ni padang
Togu hata ni uhum, Togu an hata ni padan.
Langganan:
Postingan (Atom)